Sebagai salah satu elemen masyarakat, mahasiswa tentu tidak dapat dipisahkan dari politik; entah sebagai subyek maupun obyek. Politik sendiri sejatinya tidak melulu berkaitan dengan pertarungan dalam perebutan kekuasaan, tetapi lebih merupakan bagaimana mengurus berbagai kepentingan masyarakat.
Pilihan subyek atau obyek politik ini tentu bergantung pada mahasiswa sendiri. Jika mereka tidak peduli terhadap persoalan2 politik yang menelikungnya, dan memilih berkutat dengan buku2 kuliah semata, alamat mereka hanya akan menjadi obyek politik. Di sisi lain pilihan untuk menjadi obyek politik juga sering dipaksakan dari luar. Inilah kondisi yang pernah terjadi pada zaman Orba saat rezim memaksakan kebijakan NKK/BKK agar mahasiswa hanya giat dan tekun belajar di bangku kuliah, tidak melibatkan diri dalam persoalan2 politik.
Sebaliknya, pilihan untuk menjadi bagian dari subyek politik tentu menuntut mahasiswa agar turut berperan aktif dalam menentukan arus politik. Keterlibatan mahasiswa dalam politik ini dimaksudkan agar arus politik yang berkembang berpihak kepada rakyat kebanyakan, bukan pada segelintir jajaran elite penguasa yang tidak jarang berkolaborasi dengan para pengusaha. Keterlibatan mahasiswa dalam politik tentu tidak boleh dipahami bahwa mereka harus terjun ke politik praktis, seperti menjadi anggota legislatif misalnya. Yang lebih penting bagi mereka adalah menjadi bagian dari elemen masyarakat yang mampu membangun opini politik sekaligus tekanan2 terhadap penguasa dan wakil rakyat agar memerankan fungsi mereka sebagai pengurus dan pengayom rakyat.
Alhasil, saat ini diperlukan semacam revitalisasi politik mahasiswa karena keterlibatan mahasiswa dalam politik memang sangatlah vital.
Reideologi Politik Mahasiswa
Namun demikian, revitalisasi politik saja tidaklah cukup bagi mahasiswa. Lebih dari itu dibutuhkan semacam reideologi politik (baca: gerakan) mahasiswa. Soalnya, tidak jarang, gerakan mahasiswa ada yang cenderung emosional, nyaris tanpa visi, apalagi visi yang ideologis. Gerakan reformasi yang sukses menjatuhkan rezim Soeharto bisa dijadikan contoh. Siapapun yang cermat pasti mengakui bahwa bersatunya hampir seluruh elemen gerakan mahasiswa saat itu semata2 lebih karena satu faktor, yakni musuh bersama bernama Soeharto, bukan karena perlunya mengganti sistem yg sudah sangat bobrok. Artinya, mereka lebih condong hanya mengubah rezim ketimbang sistem yg menjadi pijakannya. Buktinya setelah Soeharto lengser, dan kemudian Habibie naik, gerakan mahasiswa dengan mudahnya terpecah menjadi dua: yang pro Habibie dan yang kontra Habibie.
Ini membuktikan bahwa politik/gerakan mahasiswa saat itu seolah tidak bervisi. Apalagi setelah Soeharto jatuh, tidak sedikit elemen gerakan mahasiswa yg 'istirahat'; seolah2 perjuangan sudah selesai. Wajar jika lebih dari 17 tahun masa reformasi, keadaan bukan bertambah baik, malah makin memburuk. Masa reformasi yang telah melahirkan 5 (lima) presiden -Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan Jokowi- terbukti tidak menghasilkan perubahan apa2 selain krisis yg bertambah parah.
Ironisnya, politik mahasiswa yang tanpa visi ini terulang kembali pada masa reformasi. Contoh dalam kasus korupsi. Banyak elemen gerakan mahasiswa yang hanya menghendaki para koruptor dihukum. Padahal korupsi hanyalah salah satu bagian saja dari problematika bangsa ini. Pada saat yg sama, sedikit sekali dari mereka yg mengkritisi berbagai kelemahan hukum dan perundang-undangan di Indonesia sekaligus kebobrokan sistem peradilan kita; termasuk sistem kehidupan saat ini yg nyata2 sekular dan mengarah pada neoliberalisme. Misal, betapa sedikit mahasiswa yg kritis terhadap banyaknya UU liberal yang dihasilkan DPR/Pemerintah seperti UU SDA, UU Migas, UU Minerba, UU Pendidikan Nasional, UU Penanaman Modal, RUU Intelijen/Keamanan Negara, dll.
Mereka kadang hanya mempersoalkan akibat, bukan sebab. Mereka mempersoalkan korupsi, tetapi melupakan akar persoalan korupsi, di antaranya karena kelemahan sistem hukum (sekular) dan sistem pemerintahan (demokrasi) yg ada. Mereka mempersoalkan kemiskinan , tetapi mengabaikan akar kemiskinan, di antaranya karena sebagian besar kekayaan rakyat sudah dikuasai pihak asing. Mereka mempersoalkan makin mahalnya pendidikan, tetapi tidak memahami bahwa itu terjadi karena adanya kebijakan industrialisasi pendidikan.
Lebih dari itu, mereka sesungguhnya banyak yang tidak memahami bahwa itu semua harus diatasi dengan kembalinya negara dan bangsa ini ke ideologi Islam; ke akidah dan syariah Islam
Walhasil, di sinilah pentingnya reideologi politik mahasiswa agar gerakan mahasiswa betul2 berjalan di atas landasan visi dan ideologi perubahan yg jelas. Visi dan ideologi macam apa yg dibutuhkan oleh gerakan mahasiswa, tentu bergantung pada perubahan seperti apa yg diinginkan. Yang pasti, tentu bukan sekadar menurunkan Jokowi atau menggantikan orang di jajaran elite kekuasaan, tetapi perubahan sistem pemerintahan dan kenegaraan. Revolusi Prancis, Revolusi Industri di Inggris, Revolusi Bolshevic di Rusia dan tentu saja Revolusi Islam yg diusung Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wa sallam adalah contoh2 terbaik tentang perubahan yg dilandaskan pada visi dan ideologi yg khas. Hanya saja, tentu yg kita kehendaki hanyalah Revolusi Islam, bukan yang lain. Itu bisa dilakukan tanpa harus 'berdarah-darah' seperti yg terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah, yg terbukti gampang dibajak oleh para politisi jahat atas nama perubahan.
Yang perlu dilakukan oleh mahasiswa saat ini adalah: Pertama, melakukan kritik2 tajam terhadap penguasa dan sistem neoliberal yg mereka paksakan atas rakyat yg ditandai dengan banyaknya UU dan kebijakan liberal yg merugikan rakyat. Kedua, melakukan penyadaran yg massif terhadap umat dengan akidah dan syariah Islam. Ketiga, membangun opini di tengah2 masyarakat tentang pentingnya negara dan bangsa ini menerapkan ideologi Islam dengan cara menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan di bawah naungan khilafah. Alasannya, selain kewajiban, syariah dan khilafah adalah solusi kehidupan.
Selebihnya, umat harus terus 'diprovokasi' untuk meninggalkan sistem kapitalisme-sekuler -yang mengarah pada neoliberalisme- yg menjadi sumber segala persoalan yg membelit bangsa ini. Selanjutnya umat harus terdorong untuk melakukan perubahan ke arah Islam. Sebab hanya dengan Islamlah sesungguhnya persoalan bisa diselesaikan, dan itu tidak mungkin terjadi jika syariah Islam tidak diterapkan oleh negara. Di sinilah pentingnya perjuangan menegakkan syariah secara formal oleh negara dalam seluruh aspek kehidupan (ideologi, politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan sosial, dll) dalam institusi Khilafah 'ala minhaj an-Nubuwwah.
Sumber : Media Umat Edisi 154, Rubrik Opini, yang ditulis oleh Arif Budiman, S.S. Alumnus Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Sastra UNPAD Bandung. (dengan sedikit editan).
0 comments:
Post a Comment